Terima kasih Ibu
"Baru selesai nyapu, udah disuruh ke warung. Sebentar ya bu, saya
masih lelah ..." kata-kata itu selalu keluar setiap ibu meminta tolong
membelikan sesuatu di warung yang jaraknya tak lebih dari 20 meter.
Pulang dari warung, ibu minta tolong untuk mengantarkan pesanan bu
Sapto, tetangga sebelah rumah, "nanti dulu dong bu, capek nih..." kata
itu juga yang menjadi alasan untuk menolak permintaan ibu.
Setiap sore, suara ibu terdengar dari luar kamar agar saya segera
mengepel lantai. Biasa, tugas rutin. lagi-lagi, alasan masih lelah
keluar dari mulut ini dan membiarkan ibu terus menerus memanggil nama
saya. Biasanya kalau sudah bosan, ibu yang mengerjakannya sendiri.
Kemarin sepulang sekolah, secarik kertas menempel di pintu kamar.
tertulis pesan, "Jangan tidur siang ya, langsung ke pasar, bantu ibu
ambil belanjaan". Seperti biasa, kertas itu tetap menempel sampai sore
hari ibu datang terengah-engah berpeluh keringat berjinjing belanjaan.
"Capek banget nih bu, maaf ya" hanya itu alasan yang saya punya.
Tadi pagi sebelum berangkat sekolah, saya alpa mengerjakan tugas pagi,
menyapu lantai. Sambil menyantap sarapan, saya minta maaf ke ibu
karena semalam terlalu larut belajar. "Masih capek nih bu," lagi-lagi
alasan itu.
Sore ini, alasan lelah lagi yang saya pakai untuk menolak permintaan
ibu menjaga adik. Padahal ibu memintanya dengan penuh harap. Setelah
ibu mengalah, justeru saya tak merasa lelah saat datang ajakan bermain
bola dari teman-teman.
hmm, saya sering meneteskan air mata jika mengingat alasan-alasan yang
selalu saya buat untuk menolak permintaan ibu. Sungguh, saya yakin
meski tak meminta maaf pun ibu selalu memaafkan anaknya ini.
Kini, saya teramat tahu, ibu tak pernah bilang lelah menuruti
kemauanku sejak kecil. Tak sekalipun terdengar keluh ibu menanggapi
semua permintaanku. Tak ada kata "ibu lelah nih" untuk pinta yang tak
pernah henti dari anaknya ini.
Ibu tak pernah lelah menyediakan dadanya untuk saat-saat sedih saya,
juga ketika saya bingung mencari tempat mencurahkan persoalan. Wanita
yang teramat tangguh itu tak sedikit pun tersirat untuk berhenti
berjalan menempuh ribuan kilo untuk melayani semua keperluan saya.
Bahkan, saya pun tahu ibu dulu tak pernah mengeluh membawa perut
buncitnya selama sembilan bulan lebih hingga melahirkan saya antara
hidup dan matinya. Lalu saya juga tahu, air susunya menjadi saksi
bahwa ia memang tak pernah lelah mengalirkan cintanya kepada saya.
Ah ibu, maafkan anakmu ini yang terkelu tatkala mengingat semua *baca lanjutanna!
masih lelah ..." kata-kata itu selalu keluar setiap ibu meminta tolong
membelikan sesuatu di warung yang jaraknya tak lebih dari 20 meter.
Pulang dari warung, ibu minta tolong untuk mengantarkan pesanan bu
Sapto, tetangga sebelah rumah, "nanti dulu dong bu, capek nih..." kata
itu juga yang menjadi alasan untuk menolak permintaan ibu.
Setiap sore, suara ibu terdengar dari luar kamar agar saya segera
mengepel lantai. Biasa, tugas rutin. lagi-lagi, alasan masih lelah
keluar dari mulut ini dan membiarkan ibu terus menerus memanggil nama
saya. Biasanya kalau sudah bosan, ibu yang mengerjakannya sendiri.
Kemarin sepulang sekolah, secarik kertas menempel di pintu kamar.
tertulis pesan, "Jangan tidur siang ya, langsung ke pasar, bantu ibu
ambil belanjaan". Seperti biasa, kertas itu tetap menempel sampai sore
hari ibu datang terengah-engah berpeluh keringat berjinjing belanjaan.
"Capek banget nih bu, maaf ya" hanya itu alasan yang saya punya.
Tadi pagi sebelum berangkat sekolah, saya alpa mengerjakan tugas pagi,
menyapu lantai. Sambil menyantap sarapan, saya minta maaf ke ibu
karena semalam terlalu larut belajar. "Masih capek nih bu," lagi-lagi
alasan itu.
Sore ini, alasan lelah lagi yang saya pakai untuk menolak permintaan
ibu menjaga adik. Padahal ibu memintanya dengan penuh harap. Setelah
ibu mengalah, justeru saya tak merasa lelah saat datang ajakan bermain
bola dari teman-teman.
hmm, saya sering meneteskan air mata jika mengingat alasan-alasan yang
selalu saya buat untuk menolak permintaan ibu. Sungguh, saya yakin
meski tak meminta maaf pun ibu selalu memaafkan anaknya ini.
Kini, saya teramat tahu, ibu tak pernah bilang lelah menuruti
kemauanku sejak kecil. Tak sekalipun terdengar keluh ibu menanggapi
semua permintaanku. Tak ada kata "ibu lelah nih" untuk pinta yang tak
pernah henti dari anaknya ini.
Ibu tak pernah lelah menyediakan dadanya untuk saat-saat sedih saya,
juga ketika saya bingung mencari tempat mencurahkan persoalan. Wanita
yang teramat tangguh itu tak sedikit pun tersirat untuk berhenti
berjalan menempuh ribuan kilo untuk melayani semua keperluan saya.
Bahkan, saya pun tahu ibu dulu tak pernah mengeluh membawa perut
buncitnya selama sembilan bulan lebih hingga melahirkan saya antara
hidup dan matinya. Lalu saya juga tahu, air susunya menjadi saksi
bahwa ia memang tak pernah lelah mengalirkan cintanya kepada saya.
Ah ibu, maafkan anakmu ini yang terkelu tatkala mengingat semua *baca lanjutanna!